Sabtu, 09 Maret 2019

Cerita Pendek "PAIJO"


Cerita Pendek
PAIJO

Murwati Widiani

Owalah Jo...Jo...” tiga kali kalimat itu diucapkan Paijo sambil memukuli kepalanya sendiri. Paijo sangat menyesali hidupnya, menyesali kesalahannya. Kini ia merasa semakin miskin, merasa semakin tidak punya apa-apa. Kalau saja lima kerbaunya tidak dijual, setidaknya dia masih bisa bercanda dengan mereka, mengajaknya bicara sambil memandikannya di Kali Ledok Sambi.
Setahun yang lalu, Paijo sakit hati teramat dalam saat ketua RT-nya, Wakiran membeli traktor. Wakiran telah merebut pekerjaannya. Sejak ada traktor di kampung Purwodadi, tidak ada lagi orang yang menyewa kerbaunya untuk membajak sawah. Mereka lebih memilih traktor. Traktor bekerja lebih cepat katanya. Meski sewa traktor lebih mahal, hitungannya jadi lebih hemat. Sakit hatinya tak pernah disampaikan kepada siapa pun selain pada Sumi istrinya.
“Wah, gara-gara traktor, keboku ora payu ya, Mi?” keluhnya suatu ketika pada istrinya.
Yo ra popo, Kang. Masih ada pekerjaan lain to? Masih bisa bantu ambil pasir untuk Juragan Harjo. Gusti mesti paring welas, ora bakal kelaparan. Jalan rejeki kan banyak...” kata Sumi menenangkan hati Paijo. Paijo merasa sedikit terhibur walau hatinya tetap saja dongkol saat mengingat Wakiran. Betapa tidak. Wakiran sering lewat di depan rumahnya sambil menaiki traktornya yang meraung-raung. Rasanya seperti hendak memecahkan telinga Paijo. Belum lagi melihat tampang Wakiran, senyam-senyum.
Ora megawe, Jo?” teriak Wakiran suatu ketika sambil menjalankan traktornya. Paijo merasa tidak perlu menjawab. Kalaupun dijawab, pasti Wakiran telah berlalu dan tak akan mendengar jawabnya. Apalagi suasana hati Paijo saat itu mendukung untuk tidak menjawab. Pertanyaan Wakiran lebih dirasakan sebagai hinaan. Jadi kalau saja pantas dia kepengin berteriak, “Megawe gundhulmu!”. Tetapi Paijo tidak mengucapkannya. Itu hanya ada di angan. Paijo tetaplah menjadi lelaki Jawa yang lembut, tidak mau menyakiti orang lain.
Pikirannya mengembara lalu berhenti ke anaknya, Mitayani, anak satu-satunya dan itu pun bukan anaknya sendiri. Mita, begitu nama panggilannya, kini duduk di kelas V SD. Mita anak pungut yang diambilnya dari keluarga banyak anak sejak lahir. Paijo sudah membiayai sejak dalam kandungan. Mereka membantu biaya periksa ke bidan dari kandungan lima bulan sampai biaya persalinan. Sekarang bayi itu sudah jadi gadis kecil. Meski baru kelas V SD, tinggi badannya sudah seperti anak kelas IX SMP. Mita tidak pernah tahu orang tua kandungnya. Yang dia tahu akta kelahirannya berbunyi anak dari Paijo dan Sumi. Yang tahu hanyalah Paijo, Sumi, dan para tetangganya. Beruntung tetangganya baik-baik. Tidak ada yang usil dan ingin mengusik status gadis kecil itu.
Mita juga pasti tidak pernah punya perasaan ragu menjadi anak satu-satunya keluarga Paijo. Meski kalau berkaca, mungkin sering merasa heran. Wajahnya tidak mirip sama sekali dengan ayah atau ibunya. Jauh malahan. Mita bekulit bening, berambut hitam lebat dan lurus. Ayah dan ibunya berkulit sawo matang cenderung coklat, suram dan keduanya berambut ombak, tidak lurus dan hitam seperti Mita.
Bagi Paijo dan istrinya, putri satu-satunya itu adalah titipan Gusti Allah yang harus dijaga dan dirawat dengan penuh kasih sayang. Apalagi bagi Paijo dan Sumi, Mita punya keistimewaan. Seperti anak ajaib. Di rumah sering bicara seperti dengan seseorang. Ketika ditanya, katanya ada Simbah. Paijo dan Sumi tidak lagi memperpanjang pertanyaannya. Hingga suatu ketika, saat Paijo sakit, meriang dan pusing, Mita memegang kepalanya. Tiba-tiba pusing di kepalanya hilang dan Paijo merasa segar. Beberapa kali, entah Paijo atau Sumi saat tidak enak badan minta anaknya memegang atau memijatnya. Ajaib, sakitnya sembuh. Diceritakannya pengalaman itu pada Mbah Jingun, tetangganya. Mbah Jingun manggut-manggut. Maka suatu hari saat giginya sakit, ia mencari Mita. Paijo menyuruh Mita untuk memegang pipi Mbah Jingun. Sontak Mbah Jingun hilang sakitnya.
Mbah Jingun heran, “Lo... kok sembuh ya gigiku?”
“Ya sudah Mbah, berarti jodo. Mangga Mbah, buat istirahat...” sahut Paijo. Mita kecil berlari mendapati mainannya di tenggok. Sesaat kemudian Mita sudah tenggelam dalam dunianya, bermain dan berbicara dengan mainannya.
Paijo dan Sumi membahas kejadian itu. Lalu mereka bersepakat untuk mempercayai bahwa di tubuh Mita memang ada ruh yang ikut. Orang Jawa menyebutnya “perewangan”. Kejadian menyembuhkan sakit sudah tidak hanya satu kali ini. Paijo dan Sumi pun berjanji selalu akan menuruti apa pun yang diminta putrinya. Berita Mita dapat menyembuhkan orang sakit pun beredar di kampung Purwodadi. Beberapa orang membuktikannya dan benar. Sayangnya, tidak selalu Mita mau disuruh memegang orang yang datang. Bocah yang tak tahu apa-apa itu lebih sering sibuk dengan mainannya.
Paijo, juga istrinya tak pernah berani memarahi. Itulah kasih sayang ala Paijo. Kasih sayang yang berbeda dengan orang tua kebanyakan di kampungnya. Apa pun yang diminta anaknya selalu dituruti. Saat kelas IV Mita mogok sekolah karena ingin punya HP. Akhirnya Paijo mengambil tabungannya untuk membeli HP yang dia sendiri dan istrinya tidak pernah punya. Sesuai permintaan anaknya, dibelinya HP Android seharga Rp3.750.000,00. Saat membayar, Paijo menitikkan air mata karena belum pernah seumur hidupnya membeli barang semahal itu tapi tidak akan menghasilkan apa-apa. Bahkan, pastilah akan menggerogoti uangnya selanjutnya, karena HP pastilah butuh pulsa atau internet atau apa lah Paijo tidak begitu paham. Kalau membeli kerbau, Paijo selalu tidak eman-eman karena pastilah akan menambah penghasilan. Kalau dewasa dan jantan bisa diajak bekerja membajak sawah. Kalau betina pasti suatu ketika akan bunting dan beranak. Jadilah banyak. Meski nelangsa, Paijo tetap tersenyum dan berusaha menyembunyikan muka agar Mita tidak melihat matanya yang berkaca. Biarlah, Mita harus hidup senang. Begitu pikir Paijo.
Mengingat jalan hidupnya, Paijo dan istrinya merasa rezekinya lancar sejak memungut bayi Mitayani. Kerbaunya selalu laris disewa orang. Sumi, istrinya pun menjadi sering dapat rejeki dari job membantu para tetangga yang memerlukan bantuan. Profesinya memasak nasi untuk berbagai keperluan mulai dari khajatan sampai kenduri orang meninggal. Sumi terkenal pinter masak nasi dalam jumlah besar dengan menggunakan dandang dan kukusan. Nasi yang dimasaknya selalu enak, bersih, tidak lembek, tetapi juga tidak kemratak. Jarang orang bisa memasak nasi dalam jumlah besar bisa pas.
Lima bulan kemudian setelah memiliki HP, mungkin mulai bosan main HP, Mita mogok sekolah lagi. Tidak tanggung-tanggung kali ini. Mita kepengin dibelikan sepeda motor. Paijo kaget, Sumi pun sok. Bagaimana cara mereka menuruti kemauan anaknya, sungguh menjadi masalah yang harus segera dipecahkan. Paijo tidak kuasa menasehati anaknya, juga tak kuasa melarang keinginannya. Paijo yang diamini Sumi punya kepercayaan keinginan Mita adalah keinginan ruh yang menempel di tubuh Mita. Maka yang mereka pikirkan hanya bagaimana cara membelikan sepeda motor untuk Mita.
Yo wis, tabungane dijupuk wae, to Kang,” Sumi berusaha memberikan usul.
“Tabungan apa... tinggal lima juta. Dapat apa?” sahut Paijo dengan suara parau dan hati gundah.
“Kalau gitu kerbaunya dijual satu buat tambahan. Terus kurangnya pinjam Juragan Harjo,” lanjut Sumi setelah berusaha memeras otak. Kali ini Paijo tidak menjawab. Hatinya sedikit lega karena usul istrinya dirasa cukup masuk akal. Lalu Paijo menjalankan langkahnya sesuai prosedur yang diusulkan istrinya. Ambil tabungan, jual satu kerbau, dan pinjam uang juragannya. Paginya, Paijo masuk kamar anaknya untuk menemui gadis kecilnya yang mulai dewasa. “Bangun Mit... Ini lo Mit... Bapak sudah punya uang, nanti sore Bapak belikan kamu sepeda motor yo...” bujuk Paijo sambil mengelus pundak putrinya yang sedari kemarin mengurung di kamar.
“Iya, Pak...” jawab Mita sambik mengucek-ucek matanya dengan suara ringan, polos dan tanpa dosa. Dengan senyumannya, Mita beranjak mandi dan tanpa disuruh dia masuk sekolah lagi.
Owalah Nduk... Nduk... Wis yo... tidak usah minta-minta lagi dengan model mogok sekolah...” Bisik paijo dalam hati penuh doa buat anaknya. Kini kerbau Paijo tinggal lima. Dua pejantan tukang bajak sawah, satu betina dewasa dan dua anaknya yang sudah hampir jadi kerbau pekerja juga. Digiringnya kelima kerbaunya sambil nembang lagu mocopat lirih. Sampailah di Kali Ledok Sambi. Dicarinya bagian sungai yang masih boleh dipakai untuk memandikan kerbau. Sejak di daerah lereng Merapi marak dengan wisata outbound, Jip Merapi, dan kuliner... kerbaunya ikut kehilangan tempat mandi. Sebagian sungai sudah dikuasai pengusaha tempat wisata. Beruntung masih tersisa.
“Ayo, Den... turun...” begitu Paijo memanggil kerbaunya dengan sebutan “Den (Raden, sebutan untuk orang Jawa berdarah biru atau ningrat)”. Maksud Paijo, dia sangat menghormati dan menyayangi kerbau-kerbaunya. Seperti menyayangi anaknya, Paijo sangat rajin memandikannya, memberi makan rumput gajah dan batang padi yang selalu siap sedia di rumah. Kerbau Paijo tak diizinkan lama kotor. Jadi, tiap hari apalagi habis megawe pasti dimandikannya. Meski saat itu kerbaunya tak lagi laku karena Wakiran, Paijo tidak marah pada kerbaunya. Tanpa kerja, tetap diberinya makan, sama seperti kalau kerja.
Pulang memandikan kerbau, sekalian juga mandi sendiri, Paijo berjalan menyusuri Desa Wisata Sambi lalu belok ke kanan menuju rumahnya. Yang dikagumi tetangganya, kerbau Paijo tidak pernah sembarangan buang kotoran. Kerbaunya selalu buang kotoran di tempat-tempat yang bukan jalan bersih. Di lubang dekat sungai misalnya atau di kandangnya yang sudah diberi tempat. Pernah Paijo memarahi kerbaunya saat berak di tengah dusun di jalan beraspal. Sambil marah Paijo juga membersihkan teletong kerbau sampai bersih. Paijo tidak mau penduduk kampung menggerutu karena jalannya kotor ada teletong. Dan Paijo pasti akan  kena marah Pak Dukuh dan tidak diizinkan lagi kerbaunya lewat jalan kampung. Sudah pasti Pak Dukuh dan semua tetangganya menuduhnya karena pemilik kerbau di kampung Purwodadi hanyalah Paijo.
“E... Pakde Paijo... habis mandiin kerbau ya?” tanya Martini, pembantu Juragan Harjo yang lagi momong anak majikannya.
Iyo Cah Ayu... “ kata Paijo menyebut anak momongan Martini.
Hole... Bo... Kelbau... abis mandi ya?” celoteh Silvi, bocah berusia dua setengah tahun yang sedang belajar bicara kegirangan. Tiap hari Silvi selalu minta diajak ke rumah Paijo. Silvi sangat senang melihat kerbau. Martini pun senang karena terbebas dari pekerjaan rumah lainnya. Martini juga bisa leluasa ngobrol dengan Yu Sumi dan Kang Paijo dari A sampai Z. Sampai suatu ketika obrolannya mengarah ke hal serius.
“Kang, kayaknya saya lihat kerbau Kang Paijo sudah jarang disewa orang ya?” tanya Martini mengawali obrolan.
“Iya Mbak... La piye? Orang lebih milih sewa traktor Wakiran daripada kerbau saya. Padahal saya sebenarnya sudah banting harga sewa lo. Tapi kok ya tetap tidak laku...”
“La kalau gitu kan Kang Paijo rugi... nggak dapat penghasilan dari kerbau, malah tiap hari kehilangan tenaga untuk cari makan dan memandikan... Apa nggak kepengin alih profesi, Kang?” tanya Martini sambil menyuapi Silvi momongannya.
“Alih profesi apa?” tanya Paijo penasaran. Meski Martini hanya seorang pembantu rumah tangga, Paijo tetap mendengarkan pendapatnya, menghormatinya, dan menganggapnya sebagai tetangga yang derajatnya sama dengan siapa pun.
“Kang Paijo nggak lihat, sekarang kan lagi marak bisnis jip wisata Merapi? Nah, menurutku ya Kang... beli jip saja. Kerbaunya dijual. Sekali jalan ongkosnya 450.000 lo. Buat beli solar paling 200.000. Sisanya kan banyak. Kalau sehari bisa jalan dua kali... atau tiga kali?” kata Martini nyerocos.
Diam-diam Paijo mencerna saran Martini dan mulai membayangkan hidupnya akan berubah. Lalu tiba-tiba ingat bahwa dirinya tidak bisa nyetir jip. Jangankan jip, sepeda motor Mita saja dia tak pernah mengendarainya. “La aku kan ra iso nyetir, Mbak?” katanya kemudian. Martini yang sudah sangat tahu kalau Paijo pasti akan bertanya begitu langsung menjawab.
Lah gampang Kang... ya kursus to di kota...”
Paijo seperti tersihir manggut-manggut saja. Sehari kemudian, Paijo pergi ke kota dengan tekad pulang dari kursus Paijo sudah bisa jadi sopir jip. Semua dilakukannya dengan diam-diam. Tak ada orang yang diberi tahu selain istrinya. Meski Sumi ragu dengan rencana suaminya, toh akhirnya harus mengizinkan. Sumi tidak mau kalau nantinya dijuluki sebagai istri yang tidak patuh. Satu dua tiga kali akhirnya Paijo kursus setir, Paijo merasakan tidak sulit. Hari keempat dinyatakan lulus dan langsung dibuatkan SIM oleh pemilik kursus setir mobil.
Paijo pun menjual semua kerbaunya. Seperti saran Martini, toh kerbaunya sudah tidak menghasilkan apa-apa lagi. Malah menjadi tanggungan tiap hari untuk memberi makan dan memandikan. Walau sebenarnya berat berpisah dengan kerbaunya, tapi Paijo berpikir hidup haruslah berubah. Maka saat memandikan, kerbaunya pun dipamiti dengan penuh kasih sayang.
Ngapuramu yo, Den... terpaksa aku jual. Semoga majikanmu kelak lebih sayang padamu ya.” kata Paijo pada kerbau-kerbaunya satu per satu.
“Oek...,” kerbaunya melenguh seperti menjawab kata-kata majikannya. Sejenak Paijo ragu. Kerbaunya “oek” itu artinya iya atau tidak mau ya? Tapi dorongan menjadi sopir jip wisata lebih kuat. Maka hari itu semua kerbaunya beralih tangan. Paijo seperti banyak tetangganya, kini punya jip. Karena aturan, jip tidak bisa dioperasikan secara pribadi. Harus bergabung ke grup. Dipilihlah grup wisata “Jeep Merapi Adventure” grup yang markasnya dekat rumahnya, di perempatan Purwodadi pimpinan Pak Eko.
Paijo menerima training singkat apa yang harus dilakukan dan diperankannya. Tiga kali perjalanan Paijo harus ikut dulu di jip sopir senior. Dengan semangat 45 Paijo naik jip Mas Supri, tetangga dekatnya. Satu putaran Medium Trip ternyata memerlukan waktu 2,5 jam dengan 4 – 5 objek wisata tujuan. Alternatif 1: Museum Mini Sisa Hartaku, Batu Alien, Bunker Kaliadem dan Puncak Kaliadem, Kampung Mbah Marijan (Dusun Kinahrejo), dan Danau Semi (Trek Basah Kali Kuning). Alternatif 2: Stone Henge, Museum Mini Sisa Hartaku, Batu Alien, Bunker Kaliadem & Puncak Kaliadem. Alternatif 3: Museum Mini Sisa Hartaku, The Lost Word Castle, Batu Alien, Bunker Kaliadem & Puncak Kaliadem. Itu perjalanan yang dihafal Paijo.
Hatinya bimbang. Ada dua hal yang membuatnya demikian. Pertama, ternyata cara nyetir jip haruslah kencang dan ugal-ugalan. Jika ada jalan menikung, tetap ngebut sampai jip miring sekali. Di trek basah-basah Kali Kuning malah lebih miris. Mas Supri dan sopir jip lainnya mengemudikan jipnya dengan kencang, membawa penumpangnya melaju, menukik, lalu berputar. Air kali memancar ke segala arah dan membasahi semua penumpang jip. Jip-jip yang ada, sekitar 4 – 5 jip dalam setiap rombongan, sengaja melaju berlawanan arah sehingga saat berpapasan, mereka saling membasahi. Di situlah para penumpang jip berteriak histeris berpadu dengan raungan mesin jip dan suara percikan air kali. Jip berputar sekitar empat kali. Antarputaran diberi waktu berhenti beberapa detik di bagian sungai tanpa air untuk memberi kesempatan para penumpang menghela nafas sejenak sebelum mengikuti manufer berikutnya. Paijo melihat wisatawan yang merasa belum puas, meminta sopir untuk kembali melakukan manufer dengan memberi uang tips. Sejenak Paijo melirik Mas Supri yang memasukkan uang warna biru ke sakunya.
Yang kedua, Paijo menyaksikan jadi sopir jip ternyata berperan juga jadi pemandu wisata. Harus pintar bicara.
"Coba perhatikan Bapak Ibu... Batu Alien ini berasal dari Merapi. Tahun 2010 saat erupsi, batu ini tiba-tiba ada di sini. Silakan perhatikan Bapak Ibu... batu ini memiliki wajah manusia.” kata Mas Supri sambil menunjuk ke arah selatan batu Alien. “Nanti kalau dilihat di foto akan tampak lebih jelas wajah itu," lanjutnya. Segenap penumpang jip manggut-manggut mengagumi cerita yang disampaikan Mas Supri. Apalagi cerita di Bunker Kaliadem, Paijo sendiri ikut merinding saat mendengarkan cerita Mas Supri.
“Bapak Ibu..., di dalam bunker inilah dua orang relawan tewas saat mencari perlindungan. Pada sore hari sering terdengar suara tangisan dari sini. Ingin tahu, di mana dua orang tewas dalam bunker? Di sinilah dua orang relawan direnggut nyawanya dengan cara yang mengenaskan. Dari kejadian terjebak, mulanya masih bisa berkomunikasi dengan HP maupun HT, kemudian pastilah berjuang untuk tetap hidup dengan segala cara, lalu akhirnya tak lagi bisa diajak berkomunikasi.”
Itulah pengalaman Paijo yang membuatnya ragu. Mampukah ia menjadi sopir yang handal dan menjadi pemandu wisata yang pandai bicara? Tetapi pemandangan Mas Supri memasukkan selembar uang warna biru ke sakunya kembali membuat Paijo mantap. Apa pun jalannya Paijo harus bisa. Paijo tidak mau menjadi orang yang mudah putus asa. Pengorbanan kelima kerbaunya harus memberi kemajuan bagi hidupnya.
Pengalaman pertama membawa empat orang wisatawan cukup lancar. Saat pertama singgah ke “Museum Mini Sisa Hartaku” tugas pemandu dihandel oleh Mas Sugeng, salah satu sopir yang serombongan dengan Paijo. Di manufer Kali Kuning Paijo kebetulan dapat penumpang yang sudah umur dan meminta Paijo untuk tidak kencang-kencang. Paijo tersenyum sambil menjawab mantap, “Baiklah Bapak Ibu...”. Mereka pasti tidak tahu bahwa bisanya Paijo memang pelan-pelan.
Hari-hari pertama menjadi sopir jip berjalan seperti yang dia bayangkan. Lancar jaya. Namun, ketika ada dua tiga penumpang yang komplain pada juragan jip, Paijo mulai kena tegur. “Nyopirnya kurang mantap, Jo... Itu tidak menyenangkan bagi wisatawan...” kata Pak Eko.
Oh, nggih Pak, la ada yang minta pelan-pelan itu...” jawab Paijo membela diri.
Walah Jo... ini sudah laporan ketiga. Besok kalau ada satu lagi terpaksa saya tidak bisa lagi pakai sampaian.” lanjut Pak Eko dengan wajah kurang suka.
“Inggih, Pak. Nyuwun ngapunten.” jawab Paijo akhirnya, menurut saja.
Dan benar apa yang diancamkan Pak Eko terjadilah. Paijo dinyatakan resign untuk sementara waktu. Inilah kejadian yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan Paijo. Karena itulah pagi ini dia mulai menyesali keputusan demi keputusan yang ia buat. Seperti layar film yang diputar di mainan anak-anak yang dilihat dengan mengintip, kejadian lampau muncul satu per satu. Mulai dari memungut anak, bercengkerama dengan kerbaunya tiap pagi, sampai mendengarkan saran Martini lalu akhirnya menjual semua kerbaunya. Keasyikannya melamun tiba-tiba terbuyar saat Martini berlari-lari sambil menggendong Silvi menemui dirinya.
“Pakde... Pakde... Itu lo Pakde...” kata Martini tergopoh-gopoh. Lalu di belakang Martini ada  Pak Sutar, Mbah Jingun dan beberapa tetangganya. Semua orang memandang Paijo dengan wajah penuh kecemasan.
“Ada apa ini?” tanya Paijo tidak mengerti.
“Sabar yo Le...” kata Mbah Jingun menepuk-nepuk pundak Paijo.
“Mita, Pakde...” sahut Martini sambil menangis.
Hati Paijo mulai merasakan sesuatu yang kurang beres. Pikiran jelek datang mengharu biru. Belum lagi Paijo mengungkapkan perasaannya, tangannya sudah digandeng Pak Sutar dan diminta membonceng sepeda motornya. Paijo menurut saja. Tangannya yang gemetaran berpegangan melingkar pada perut Pak Sutar. Tangan Pak Sutar menepuk tangan Paijo yang menempel di di depan perutnya. “Tenang yo Kang... Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Mita.”
Akhirnya sepeda motor Pak Sutar melaju ke arah selatan, menuruni jalan beraspal lalu sampai Rumah Sakit Panti Nugroho berbelok ke kanan. Paijo bisa menebak, pastilah Mita ada di rumah sakit ini. Paijo juga bisa menebak pastilah Mita mengalami kecelakaan karena sejak pagi gadis kecilnya itu berpamitan main dan membawa sepeda motor.
“Ada orang tua Mitayani?” tanya perawat berbaju putih keluar dari Ruang IGD.
“Ada, Sus...” Pak Sutar yang menjawab.
“Mohon maaf ya, Pak... anak Bapak tidak bisa diselamatkan. Benturan di kepalanya yang tidak mengenakan helem membuat luka di kepala dan harus kehilangan banyak darah.
Paijo hampir pingsan. Sebelum melihat kondisi Mita, dilihatnya Sumi istrinya masuk ruang depan IGD digandeng Pak Dukuh. Ada juga Mbah Jingun dan Wakiran. Dipeluknya Sumi erat-erat sambil menangisi musibah yang menimpanya.
“Mita... Mita...” entah berapa kali Paijo memanggil-manggil nama putri satu satunya itu.
“Ada apa dengan Mita, Kang?” Sumi tergagap. Sumi mendengarkan penjelasan Pak Dukuh tentang kejadian yang menimpa Mita. Dengan sepeda motornya Mita terpeleset pasir di pertigaan kampung saat berbelok, lalu jatuh. Ketika tahu Mita tidak lagi tertolong, Sumi pingsan. Paijo melihat istrinya dibawa ke ruang UGD oleh perawat dan Pak Dukuh. Paijo mengikutinya dari belakang. Sesampai di ruang, Paijo melihat jasad putrinya Mita yang sedang dibersihkan lukanya. Kepala Paijo terasa pusing.
Dengan mata berkaca, Paijo mengucapkan sederetan kalimat di atas jenazah anaknya. Orang tak mendengar kalimat yang diucapkannya. Hanya Paijo sendiri yang tahu. “Bapak minta maaf ya, Nduk... Bapak salah. Kenapa Bapak tak pernah mendengarkan nasihat orang lain... sebenarnya  belum cukup umur bagimu untuk pakai sepeda motor... Ya Allah, kini aku benar-benar tidak punya apa-apa”. Ruang IGD tiba-tiba menjadi gelap. Dan Paijo tidak bisa melihat apa-apa lagi.
T a m a t.

TENTANG PENULIS
Murwati Widiani, M.Hum. lahir di Banyumas, 1 Oktober 1963. Menempuh pendidikan SD, SMP, dan SPG di Purwokerto, S1 FPBS Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Yogyakarta, S2 Linguistik Terapan Pascasarjana UNY. Bekerja sebagai Guru Bahasa Indonesia SMA Muh. Pakem tahun 1990 – 2010, menjadi Pengawas SMA tahun 2010 – 2016, dan Pengawas SMP Dinas Pendidikan Sleman tahun 2017 – sekarang. Alamat di Purwodadi, RT 04, RW 02, Pakembinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582, Telepon 085228652477.
Menulis karya ilmiah penelitian dan best practice yang didokumentasikan di perpustakaan, dipublikasikan di jurnal ilmiah, dan dilombakan di tingkat nasional. Pernah menjadi Pemenang I Guru Berprestasi Tingkat Nasional 2002, Juara II Lomba Guru Kreatif Jawa Tengah – DIY 2004, Pemenang I Lomba Kreativitas Ilmiah Guru XIV Tingkat Nasional LIPI Tahun 2006, menerima Tanda Kehormatan “SATYALANCANA PENDIDIKAN” (untuk Guru Berprestasi) Tahun 2007, Juara II Pemilihan Pengawas Berprestasi Tingkat Nasional Tahun 2014, Juara II Lomba Best Practice Pengawas Sekolah Tingkat Nasional Tahun 2018. Saat ini sedang belajar menulis karya inovatif (novel dan cerpen), belum dipublikasikan.




Tidak ada komentar: