Cerita Pendek
PAIJO
Murwati Widiani
“Owalah Jo...Jo...” tiga kali kalimat itu
diucapkan Paijo sambil memukuli kepalanya sendiri. Paijo sangat menyesali
hidupnya, menyesali kesalahannya. Kini ia merasa semakin miskin, merasa semakin
tidak punya apa-apa. Kalau saja lima kerbaunya tidak dijual, setidaknya dia
masih bisa bercanda dengan mereka, mengajaknya bicara sambil memandikannya di
Kali Ledok Sambi.
Setahun yang
lalu, Paijo sakit hati teramat dalam saat ketua RT-nya, Wakiran membeli
traktor. Wakiran telah merebut pekerjaannya. Sejak ada traktor di kampung
Purwodadi, tidak ada lagi orang yang menyewa kerbaunya untuk membajak sawah.
Mereka lebih memilih traktor. Traktor bekerja lebih cepat katanya. Meski sewa
traktor lebih mahal, hitungannya jadi lebih hemat. Sakit hatinya tak pernah
disampaikan kepada siapa pun selain pada Sumi istrinya.
“Wah,
gara-gara traktor, keboku ora payu ya,
Mi?” keluhnya suatu ketika pada istrinya.
“Yo ra popo, Kang. Masih ada pekerjaan lain to?
Masih bisa bantu ambil pasir untuk Juragan Harjo. Gusti mesti paring welas, ora bakal kelaparan. Jalan rejeki kan
banyak...” kata Sumi menenangkan hati Paijo. Paijo merasa sedikit terhibur
walau hatinya tetap saja dongkol saat mengingat Wakiran. Betapa tidak. Wakiran
sering lewat di depan rumahnya sambil menaiki traktornya yang meraung-raung. Rasanya
seperti hendak memecahkan telinga Paijo. Belum lagi melihat tampang Wakiran, senyam-senyum.
“Ora megawe, Jo?” teriak Wakiran suatu
ketika sambil menjalankan traktornya. Paijo merasa tidak perlu menjawab.
Kalaupun dijawab, pasti Wakiran telah berlalu dan tak akan mendengar jawabnya.
Apalagi suasana hati Paijo saat itu mendukung untuk tidak menjawab. Pertanyaan Wakiran
lebih dirasakan sebagai hinaan. Jadi kalau saja pantas dia kepengin berteriak,
“Megawe gundhulmu!”. Tetapi Paijo
tidak mengucapkannya. Itu hanya ada di angan. Paijo tetaplah menjadi lelaki
Jawa yang lembut, tidak mau menyakiti orang lain.
Pikirannya
mengembara lalu berhenti ke anaknya, Mitayani, anak satu-satunya dan itu pun
bukan anaknya sendiri. Mita, begitu nama panggilannya, kini duduk di kelas V SD.
Mita anak pungut yang diambilnya dari keluarga banyak anak sejak lahir. Paijo sudah
membiayai sejak dalam kandungan. Mereka membantu biaya periksa ke bidan dari
kandungan lima bulan sampai biaya persalinan. Sekarang bayi itu sudah jadi
gadis kecil. Meski baru kelas V SD, tinggi badannya sudah seperti anak kelas IX
SMP. Mita tidak pernah tahu orang tua kandungnya. Yang dia tahu akta
kelahirannya berbunyi anak dari Paijo dan Sumi. Yang tahu hanyalah Paijo, Sumi,
dan para tetangganya. Beruntung tetangganya baik-baik. Tidak ada yang usil dan
ingin mengusik status gadis kecil itu.
Mita juga
pasti tidak pernah punya perasaan ragu menjadi anak satu-satunya keluarga
Paijo. Meski kalau berkaca, mungkin sering merasa heran. Wajahnya tidak mirip sama
sekali dengan ayah atau ibunya. Jauh malahan. Mita bekulit bening, berambut
hitam lebat dan lurus. Ayah dan ibunya berkulit sawo matang cenderung coklat,
suram dan keduanya berambut ombak, tidak lurus dan hitam seperti Mita.
Bagi Paijo dan
istrinya, putri satu-satunya itu adalah titipan Gusti Allah yang harus dijaga
dan dirawat dengan penuh kasih sayang. Apalagi bagi Paijo dan Sumi, Mita punya
keistimewaan. Seperti anak ajaib. Di rumah sering bicara seperti dengan
seseorang. Ketika ditanya, katanya ada Simbah. Paijo dan Sumi tidak lagi
memperpanjang pertanyaannya. Hingga suatu ketika, saat Paijo sakit, meriang dan
pusing, Mita memegang kepalanya. Tiba-tiba pusing di kepalanya hilang dan Paijo
merasa segar. Beberapa kali, entah Paijo atau Sumi saat tidak enak badan minta
anaknya memegang atau memijatnya. Ajaib, sakitnya sembuh. Diceritakannya
pengalaman itu pada Mbah Jingun, tetangganya. Mbah Jingun manggut-manggut. Maka
suatu hari saat giginya sakit, ia mencari Mita. Paijo menyuruh Mita untuk
memegang pipi Mbah Jingun. Sontak Mbah Jingun hilang sakitnya.
Mbah Jingun
heran, “Lo... kok sembuh ya gigiku?”
“Ya sudah Mbah,
berarti jodo. Mangga Mbah, buat istirahat...” sahut Paijo. Mita kecil berlari
mendapati mainannya di tenggok. Sesaat kemudian Mita sudah tenggelam dalam
dunianya, bermain dan berbicara dengan mainannya.
Paijo dan Sumi
membahas kejadian itu. Lalu mereka bersepakat untuk mempercayai bahwa di tubuh Mita
memang ada ruh yang ikut. Orang Jawa menyebutnya “perewangan”. Kejadian menyembuhkan
sakit sudah tidak hanya satu kali ini. Paijo dan Sumi pun berjanji selalu akan menuruti
apa pun yang diminta putrinya. Berita Mita dapat menyembuhkan orang sakit pun
beredar di kampung Purwodadi. Beberapa orang membuktikannya dan benar.
Sayangnya, tidak selalu Mita mau disuruh memegang orang yang datang. Bocah yang
tak tahu apa-apa itu lebih sering sibuk dengan mainannya.
Paijo, juga
istrinya tak pernah berani memarahi. Itulah kasih sayang ala Paijo. Kasih
sayang yang berbeda dengan orang tua kebanyakan di kampungnya. Apa pun yang
diminta anaknya selalu dituruti. Saat kelas IV Mita mogok sekolah karena ingin
punya HP. Akhirnya Paijo mengambil tabungannya untuk membeli HP yang dia
sendiri dan istrinya tidak pernah punya. Sesuai permintaan anaknya, dibelinya
HP Android seharga Rp3.750.000,00. Saat membayar, Paijo menitikkan air mata
karena belum pernah seumur hidupnya membeli barang semahal itu tapi tidak akan
menghasilkan apa-apa. Bahkan, pastilah akan menggerogoti uangnya selanjutnya,
karena HP pastilah butuh pulsa atau internet atau apa lah Paijo tidak begitu
paham. Kalau membeli kerbau, Paijo selalu tidak eman-eman karena pastilah akan
menambah penghasilan. Kalau dewasa dan jantan bisa diajak bekerja membajak
sawah. Kalau betina pasti suatu ketika akan bunting dan beranak. Jadilah
banyak. Meski nelangsa, Paijo tetap tersenyum dan berusaha menyembunyikan muka
agar Mita tidak melihat matanya yang berkaca. Biarlah, Mita harus hidup senang.
Begitu pikir Paijo.
Mengingat
jalan hidupnya, Paijo dan istrinya merasa rezekinya lancar sejak memungut bayi Mitayani.
Kerbaunya selalu laris disewa orang. Sumi, istrinya pun menjadi sering dapat
rejeki dari job membantu para tetangga yang memerlukan bantuan. Profesinya memasak
nasi untuk berbagai keperluan mulai dari khajatan sampai kenduri orang
meninggal. Sumi terkenal pinter masak nasi dalam jumlah besar dengan
menggunakan dandang dan kukusan. Nasi yang dimasaknya selalu enak, bersih,
tidak lembek, tetapi juga tidak kemratak. Jarang orang bisa memasak nasi dalam jumlah
besar bisa pas.
Lima bulan
kemudian setelah memiliki HP, mungkin mulai bosan main HP, Mita mogok sekolah
lagi. Tidak tanggung-tanggung kali ini. Mita kepengin dibelikan sepeda motor.
Paijo kaget, Sumi pun sok. Bagaimana cara mereka menuruti kemauan anaknya,
sungguh menjadi masalah yang harus segera dipecahkan. Paijo tidak kuasa
menasehati anaknya, juga tak kuasa melarang keinginannya. Paijo yang diamini Sumi
punya kepercayaan keinginan Mita adalah keinginan ruh yang menempel di tubuh Mita.
Maka yang mereka pikirkan hanya bagaimana cara membelikan sepeda motor untuk Mita.
“Yo wis, tabungane dijupuk wae, to Kang,”
Sumi berusaha memberikan usul.
“Tabungan apa...
tinggal lima juta. Dapat apa?” sahut Paijo dengan suara parau dan hati gundah.
“Kalau gitu
kerbaunya dijual satu buat tambahan. Terus kurangnya pinjam Juragan Harjo,”
lanjut Sumi setelah berusaha memeras otak. Kali ini Paijo tidak menjawab.
Hatinya sedikit lega karena usul istrinya dirasa cukup masuk akal. Lalu Paijo
menjalankan langkahnya sesuai prosedur yang diusulkan istrinya. Ambil tabungan,
jual satu kerbau, dan pinjam uang juragannya. Paginya, Paijo masuk kamar
anaknya untuk menemui gadis kecilnya yang mulai dewasa. “Bangun Mit... Ini lo Mit...
Bapak sudah punya uang, nanti sore Bapak belikan kamu sepeda motor yo...” bujuk
Paijo sambil mengelus pundak putrinya yang sedari kemarin mengurung di kamar.
“Iya, Pak...”
jawab Mita sambik mengucek-ucek matanya dengan suara ringan, polos dan tanpa
dosa. Dengan senyumannya, Mita beranjak mandi dan tanpa disuruh dia masuk
sekolah lagi.
“Owalah Nduk... Nduk... Wis yo... tidak
usah minta-minta lagi dengan model mogok sekolah...” Bisik paijo dalam hati
penuh doa buat anaknya. Kini kerbau Paijo tinggal lima. Dua pejantan tukang
bajak sawah, satu betina dewasa dan dua anaknya yang sudah hampir jadi kerbau
pekerja juga. Digiringnya kelima kerbaunya sambil nembang lagu mocopat lirih.
Sampailah di Kali Ledok Sambi. Dicarinya bagian sungai yang masih boleh dipakai
untuk memandikan kerbau. Sejak di daerah lereng Merapi marak dengan wisata outbound, Jip Merapi, dan kuliner...
kerbaunya ikut kehilangan tempat mandi. Sebagian sungai sudah dikuasai
pengusaha tempat wisata. Beruntung masih tersisa.
“Ayo, Den...
turun...” begitu Paijo memanggil kerbaunya dengan sebutan “Den (Raden, sebutan
untuk orang Jawa berdarah biru atau ningrat)”. Maksud Paijo, dia sangat
menghormati dan menyayangi kerbau-kerbaunya. Seperti menyayangi anaknya, Paijo
sangat rajin memandikannya, memberi makan rumput gajah dan batang padi yang
selalu siap sedia di rumah. Kerbau Paijo tak diizinkan lama kotor. Jadi, tiap
hari apalagi habis megawe pasti dimandikannya. Meski saat itu kerbaunya tak
lagi laku karena Wakiran, Paijo tidak marah pada kerbaunya. Tanpa kerja, tetap
diberinya makan, sama seperti kalau kerja.
Pulang
memandikan kerbau, sekalian juga mandi sendiri, Paijo berjalan menyusuri Desa
Wisata Sambi lalu belok ke kanan menuju rumahnya. Yang dikagumi tetangganya,
kerbau Paijo tidak pernah sembarangan buang kotoran. Kerbaunya selalu buang
kotoran di tempat-tempat yang bukan jalan bersih. Di lubang dekat sungai misalnya
atau di kandangnya yang sudah diberi tempat. Pernah Paijo memarahi kerbaunya
saat berak di tengah dusun di jalan beraspal. Sambil marah Paijo juga
membersihkan teletong kerbau sampai bersih. Paijo tidak mau penduduk kampung
menggerutu karena jalannya kotor ada teletong. Dan Paijo pasti akan kena marah Pak Dukuh dan tidak diizinkan lagi
kerbaunya lewat jalan kampung. Sudah pasti Pak Dukuh dan semua tetangganya menuduhnya
karena pemilik kerbau di kampung Purwodadi hanyalah Paijo.
“E... Pakde
Paijo... habis mandiin kerbau ya?”
tanya Martini, pembantu Juragan Harjo yang lagi momong anak majikannya.
“Iyo Cah Ayu... “ kata Paijo menyebut
anak momongan Martini.
“Hole... Bo... Kelbau... abis mandi ya?” celoteh Silvi, bocah
berusia dua setengah tahun yang sedang belajar bicara kegirangan. Tiap hari
Silvi selalu minta diajak ke rumah Paijo. Silvi sangat senang melihat kerbau. Martini
pun senang karena terbebas dari pekerjaan rumah lainnya. Martini juga bisa
leluasa ngobrol dengan Yu Sumi dan Kang Paijo dari A sampai Z. Sampai suatu
ketika obrolannya mengarah ke hal serius.
“Kang,
kayaknya saya lihat kerbau Kang Paijo sudah jarang disewa orang ya?” tanya Martini
mengawali obrolan.
“Iya Mbak... La piye? Orang lebih milih sewa
traktor Wakiran daripada kerbau saya. Padahal saya sebenarnya sudah banting
harga sewa lo. Tapi kok ya tetap
tidak laku...”
“La kalau gitu
kan Kang Paijo rugi... nggak dapat
penghasilan dari kerbau, malah tiap hari kehilangan tenaga untuk cari makan dan
memandikan... Apa nggak kepengin alih
profesi, Kang?” tanya Martini sambil menyuapi Silvi momongannya.
“Alih profesi
apa?” tanya Paijo penasaran. Meski Martini hanya seorang pembantu rumah tangga,
Paijo tetap mendengarkan pendapatnya, menghormatinya, dan menganggapnya sebagai
tetangga yang derajatnya sama dengan siapa pun.
“Kang Paijo nggak lihat, sekarang kan lagi marak
bisnis jip wisata Merapi? Nah, menurutku ya Kang... beli jip saja. Kerbaunya
dijual. Sekali jalan ongkosnya 450.000 lo. Buat beli solar paling 200.000.
Sisanya kan banyak. Kalau sehari bisa jalan dua kali... atau tiga kali?” kata Martini
nyerocos.
Diam-diam
Paijo mencerna saran Martini dan mulai membayangkan hidupnya akan berubah. Lalu
tiba-tiba ingat bahwa dirinya tidak bisa nyetir jip. Jangankan jip, sepeda
motor Mita saja dia tak pernah mengendarainya. “La aku kan ra iso nyetir,
Mbak?” katanya kemudian. Martini yang sudah sangat tahu kalau Paijo pasti
akan bertanya begitu langsung menjawab.
“Lah gampang Kang... ya kursus to di kota...”
Paijo seperti
tersihir manggut-manggut saja. Sehari kemudian, Paijo pergi ke kota dengan
tekad pulang dari kursus Paijo sudah bisa jadi sopir jip. Semua dilakukannya
dengan diam-diam. Tak ada orang yang diberi tahu selain istrinya. Meski Sumi
ragu dengan rencana suaminya, toh akhirnya harus mengizinkan. Sumi tidak mau
kalau nantinya dijuluki sebagai istri yang tidak patuh. Satu dua tiga kali akhirnya
Paijo kursus setir, Paijo merasakan tidak sulit. Hari keempat dinyatakan lulus
dan langsung dibuatkan SIM oleh pemilik kursus setir mobil.
Paijo pun
menjual semua kerbaunya. Seperti saran Martini, toh kerbaunya sudah tidak
menghasilkan apa-apa lagi. Malah menjadi tanggungan tiap hari untuk memberi
makan dan memandikan. Walau sebenarnya berat berpisah dengan kerbaunya, tapi
Paijo berpikir hidup haruslah berubah. Maka saat memandikan, kerbaunya pun
dipamiti dengan penuh kasih sayang.
“Ngapuramu yo, Den... terpaksa aku jual.
Semoga majikanmu kelak lebih sayang padamu ya.” kata Paijo pada
kerbau-kerbaunya satu per satu.
“Oek...,”
kerbaunya melenguh seperti menjawab kata-kata majikannya. Sejenak Paijo ragu.
Kerbaunya “oek” itu artinya iya atau tidak mau ya? Tapi dorongan menjadi sopir jip
wisata lebih kuat. Maka hari itu semua kerbaunya beralih tangan. Paijo seperti
banyak tetangganya, kini punya jip. Karena aturan, jip tidak bisa dioperasikan
secara pribadi. Harus bergabung ke grup. Dipilihlah grup wisata “Jeep Merapi Adventure” grup yang markasnya dekat
rumahnya, di perempatan Purwodadi pimpinan Pak Eko.
Paijo menerima training singkat apa yang harus dilakukan dan
diperankannya. Tiga kali perjalanan Paijo harus ikut dulu di jip sopir senior.
Dengan semangat 45 Paijo naik jip Mas Supri, tetangga dekatnya. Satu putaran Medium Trip ternyata memerlukan waktu
2,5 jam dengan 4 – 5 objek wisata tujuan. Alternatif 1: Museum
Mini Sisa Hartaku, Batu Alien, Bunker Kaliadem dan Puncak Kaliadem, Kampung
Mbah Marijan (Dusun Kinahrejo), dan Danau Semi (Trek Basah Kali Kuning).
Alternatif 2: Stone Henge, Museum Mini
Sisa Hartaku, Batu Alien, Bunker Kaliadem & Puncak Kaliadem. Alternatif 3:
Museum Mini Sisa Hartaku, The Lost Word
Castle, Batu Alien, Bunker Kaliadem & Puncak Kaliadem. Itu perjalanan
yang dihafal Paijo.
Hatinya bimbang. Ada dua hal yang membuatnya demikian. Pertama, ternyata
cara nyetir jip haruslah kencang dan ugal-ugalan. Jika ada jalan menikung,
tetap ngebut sampai jip miring sekali. Di trek basah-basah Kali Kuning malah
lebih miris. Mas Supri dan sopir jip lainnya
mengemudikan jipnya dengan kencang, membawa penumpangnya melaju, menukik, lalu
berputar. Air kali memancar ke segala arah dan membasahi semua penumpang jip.
Jip-jip yang ada, sekitar 4 – 5 jip dalam setiap rombongan, sengaja melaju
berlawanan arah sehingga saat berpapasan, mereka saling membasahi. Di situlah
para penumpang jip berteriak histeris berpadu dengan raungan mesin jip dan
suara percikan air kali. Jip berputar sekitar empat kali. Antarputaran diberi
waktu berhenti beberapa detik di bagian sungai tanpa air untuk memberi
kesempatan para penumpang menghela nafas sejenak sebelum mengikuti manufer
berikutnya. Paijo melihat wisatawan yang merasa belum puas, meminta sopir untuk
kembali melakukan manufer dengan memberi uang tips. Sejenak Paijo melirik Mas
Supri yang memasukkan uang warna biru ke sakunya.
Yang kedua, Paijo menyaksikan jadi
sopir jip ternyata berperan juga jadi pemandu wisata. Harus pintar bicara.
"Coba perhatikan Bapak
Ibu... Batu Alien ini berasal dari Merapi. Tahun 2010 saat erupsi, batu ini
tiba-tiba ada di sini. Silakan perhatikan Bapak Ibu... batu ini memiliki wajah
manusia.” kata Mas Supri sambil menunjuk ke arah selatan batu Alien. “Nanti
kalau dilihat di foto akan tampak lebih jelas wajah itu," lanjutnya.
Segenap penumpang jip manggut-manggut mengagumi cerita yang disampaikan Mas Supri.
Apalagi cerita di Bunker Kaliadem, Paijo sendiri ikut merinding saat
mendengarkan cerita Mas Supri.
“Bapak
Ibu..., di dalam bunker inilah dua orang relawan tewas saat mencari
perlindungan. Pada sore hari sering terdengar suara tangisan dari sini. Ingin
tahu, di mana dua orang tewas dalam bunker? Di sinilah dua orang relawan
direnggut nyawanya dengan cara yang mengenaskan. Dari kejadian terjebak,
mulanya masih bisa berkomunikasi dengan HP maupun HT, kemudian pastilah
berjuang untuk tetap hidup dengan segala cara, lalu akhirnya tak lagi bisa
diajak berkomunikasi.”
Itulah pengalaman Paijo
yang membuatnya ragu. Mampukah ia menjadi sopir yang handal dan menjadi pemandu
wisata yang pandai bicara? Tetapi pemandangan Mas Supri memasukkan selembar
uang warna biru ke sakunya kembali membuat Paijo mantap. Apa pun jalannya Paijo
harus bisa. Paijo tidak mau menjadi orang yang mudah putus asa. Pengorbanan
kelima kerbaunya harus memberi kemajuan bagi hidupnya.
Pengalaman pertama membawa empat orang wisatawan
cukup lancar. Saat pertama singgah ke “Museum Mini Sisa Hartaku” tugas pemandu
dihandel oleh Mas Sugeng, salah satu sopir yang serombongan dengan Paijo. Di
manufer Kali Kuning Paijo kebetulan dapat penumpang yang sudah umur dan meminta
Paijo untuk tidak kencang-kencang. Paijo tersenyum sambil menjawab mantap,
“Baiklah Bapak Ibu...”. Mereka pasti tidak tahu bahwa bisanya Paijo memang
pelan-pelan.
Hari-hari pertama menjadi sopir jip berjalan
seperti yang dia bayangkan. Lancar jaya. Namun, ketika ada dua tiga penumpang
yang komplain pada juragan jip, Paijo mulai kena tegur. “Nyopirnya kurang
mantap, Jo... Itu tidak menyenangkan bagi wisatawan...” kata Pak Eko.
“Oh, nggih
Pak, la ada yang minta pelan-pelan
itu...” jawab Paijo membela diri.
“Walah
Jo... ini sudah laporan ketiga. Besok kalau ada satu lagi terpaksa saya tidak
bisa lagi pakai sampaian.” lanjut Pak Eko dengan wajah kurang suka.
“Inggih, Pak. Nyuwun ngapunten.” jawab Paijo
akhirnya, menurut saja.
Dan benar apa yang diancamkan Pak Eko
terjadilah. Paijo dinyatakan resign
untuk sementara waktu. Inilah kejadian yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan
Paijo. Karena itulah pagi ini dia mulai menyesali keputusan demi keputusan yang
ia buat. Seperti layar film yang diputar di mainan anak-anak yang dilihat
dengan mengintip, kejadian lampau muncul satu per satu. Mulai dari memungut
anak, bercengkerama dengan kerbaunya tiap pagi, sampai mendengarkan saran Martini
lalu akhirnya menjual semua kerbaunya. Keasyikannya melamun tiba-tiba terbuyar
saat Martini berlari-lari sambil menggendong Silvi menemui dirinya.
“Pakde... Pakde... Itu lo Pakde...” kata Martini
tergopoh-gopoh. Lalu di belakang Martini ada Pak Sutar, Mbah Jingun dan beberapa
tetangganya. Semua orang memandang Paijo dengan wajah penuh kecemasan.
“Ada apa ini?” tanya Paijo tidak mengerti.
“Sabar yo
Le...” kata Mbah Jingun menepuk-nepuk pundak Paijo.
“Mita, Pakde...” sahut Martini sambil menangis.
Hati Paijo mulai merasakan sesuatu yang kurang
beres. Pikiran jelek datang mengharu biru. Belum lagi Paijo mengungkapkan
perasaannya, tangannya sudah digandeng Pak Sutar dan diminta membonceng sepeda
motornya. Paijo menurut saja. Tangannya yang gemetaran berpegangan melingkar pada
perut Pak Sutar. Tangan Pak Sutar menepuk tangan Paijo yang menempel di di
depan perutnya. “Tenang yo Kang...
Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Mita.”
Akhirnya sepeda motor Pak Sutar melaju ke arah
selatan, menuruni jalan beraspal lalu sampai Rumah Sakit Panti Nugroho berbelok
ke kanan. Paijo bisa menebak, pastilah Mita ada di rumah sakit ini. Paijo juga
bisa menebak pastilah Mita mengalami kecelakaan karena sejak pagi gadis
kecilnya itu berpamitan main dan membawa sepeda motor.
“Ada orang tua Mitayani?” tanya perawat berbaju
putih keluar dari Ruang IGD.
“Ada, Sus...” Pak Sutar yang menjawab.
“Mohon maaf ya, Pak... anak Bapak tidak bisa
diselamatkan. Benturan di kepalanya yang tidak mengenakan helem membuat luka di
kepala dan harus kehilangan banyak darah.
Paijo hampir pingsan. Sebelum melihat kondisi Mita,
dilihatnya Sumi istrinya masuk ruang depan IGD digandeng Pak Dukuh. Ada juga
Mbah Jingun dan Wakiran. Dipeluknya Sumi erat-erat sambil menangisi musibah
yang menimpanya.
“Mita... Mita...” entah berapa kali Paijo
memanggil-manggil nama putri satu satunya itu.
“Ada apa dengan Mita, Kang?” Sumi tergagap. Sumi mendengarkan penjelasan Pak Dukuh
tentang kejadian yang menimpa Mita. Dengan sepeda motornya Mita terpeleset
pasir di pertigaan kampung saat berbelok, lalu jatuh. Ketika tahu Mita tidak
lagi tertolong, Sumi pingsan. Paijo melihat istrinya dibawa ke ruang UGD oleh
perawat dan Pak Dukuh. Paijo mengikutinya dari belakang. Sesampai di ruang,
Paijo melihat jasad putrinya Mita yang sedang dibersihkan lukanya. Kepala Paijo
terasa pusing.
Dengan mata berkaca, Paijo mengucapkan sederetan
kalimat di atas jenazah anaknya. Orang tak mendengar kalimat yang diucapkannya.
Hanya Paijo sendiri yang tahu. “Bapak minta maaf ya, Nduk... Bapak salah. Kenapa Bapak tak pernah mendengarkan nasihat
orang lain... sebenarnya belum cukup
umur bagimu untuk pakai sepeda motor... Ya Allah, kini aku benar-benar tidak
punya apa-apa”. Ruang IGD tiba-tiba menjadi gelap. Dan Paijo tidak bisa melihat
apa-apa lagi.
T a m a t.
TENTANG PENULIS
Murwati
Widiani, M.Hum. lahir di Banyumas, 1
Oktober 1963. Menempuh pendidikan SD, SMP, dan SPG di Purwokerto, S1 FPBS Bahasa
dan Sastra Indonesia IKIP Yogyakarta, S2 Linguistik Terapan Pascasarjana UNY. Bekerja
sebagai Guru Bahasa Indonesia SMA
Muh. Pakem tahun 1990 – 2010, menjadi Pengawas SMA tahun 2010 – 2016, dan Pengawas
SMP Dinas Pendidikan Sleman tahun 2017 – sekarang. Alamat di Purwodadi,
RT 04, RW 02, Pakembinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582, Telepon
085228652477.
Menulis karya ilmiah
penelitian dan best practice yang
didokumentasikan di perpustakaan, dipublikasikan di jurnal ilmiah, dan dilombakan
di tingkat nasional. Pernah menjadi Pemenang I Guru Berprestasi Tingkat
Nasional 2002, Juara II Lomba Guru Kreatif Jawa Tengah – DIY 2004, Pemenang I Lomba Kreativitas Ilmiah Guru XIV Tingkat
Nasional LIPI Tahun 2006, menerima Tanda Kehormatan “SATYALANCANA
PENDIDIKAN” (untuk Guru Berprestasi) Tahun 2007, Juara II Pemilihan Pengawas
Berprestasi Tingkat Nasional Tahun 2014, Juara II Lomba Best Practice Pengawas Sekolah Tingkat Nasional Tahun 2018. Saat
ini sedang belajar menulis karya inovatif (novel dan cerpen), belum
dipublikasikan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar